(Translated by https://www.hiragana.jp/)
Abraham Joshua Heschel - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Abraham Joshua Heschel


Rabbi Abraham Joshua Heschel (11 Januari 1907 – 23 Desember 1972) adalah seorang filsuf Yahudi, teolog, sekaligus pemimpin keagamaan. Dr. Heschel adalah seorang profesor dalam bidang etika Yahudi dan mistisisme di Seminari Teologi Yahudi.

Infobox orangAbraham Joshua Heschel

Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran11 Januari 1907 Edit nilai pada Wikidata
Warsawa Edit nilai pada Wikidata
Kematian23 Desember 1972 Edit nilai pada Wikidata (65 tahun)
Kota New York Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaYudaisme Edit nilai pada Wikidata
PendidikanUniversitas Humboldt Berlin
Hochschule für die Wissenschaft des Judentums (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
PekerjaanRabi, Judaic scholar (en) Terjemahkan, filsuf, dosen Edit nilai pada Wikidata
Bekerja diJewish Theological Seminary of America (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Keluarga
AnakSusannah Heschel Edit nilai pada Wikidata
Penghargaan

Pada usia 20, ia belajar di Universitas Berlin, di mana dia berkenalan dengan aliran fenomenologi yang dipelopori oleh Edmund Husserl. Fenomenologi yang dikembangkan oleh Husserl ini merupakan sebuah gaya berpikir yang sangat populer pada waktu itu, dan Heschel menggunakannya untuk menganalisis prophetic consciousness yang terdapat di dalam diri manusia. Metode fenomenologi ini juga yang akan digunakan dalam menganalisis konsep manusia.

Konsep Manusia Heschel dalam Keseluruhan Filsafatnya

sunting

Dalam keseluruhan filsafatnya, Heschel sebenarnya sangat menekankan bahwa Tuhan-lah yang mencari manusia. Artinya, dia ingin kita memandang dari sudut Tuhan yang membuka diri-Nya bagi manusia. Ia mengacu pada agama atau Wahyu dimana usaha manusia mencari Tuhan juga ditanggapi dengan pencarian manusia oleh Tuhan. Tuhan-lah yang membuka diri-Nya bagi manusia. Konsep manusia Heschel juga tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan filsafatnya. Pada dasarnya martabat manusia terletak pada konsep yang mengatakan bahwa manusia adalah citra Tuhan. Ia berpendapat bahwa tidak ada satupun di alam semesta ini yang dapat menjadi citra Tuhan selain manusia.

Heschel menulis:

dan apabila memang ada sesuatu di dunia ini yang dilukiskan Kitab Suci sebagai citra dari Tuhan, maka itu bukanlah kuil atau pohon, bukan patung atau bintang. Citra Tuhan adalah manusia, semua manusia.

Konsep manusia sebagai wujud dari citra Tuhan inilah yang merupakan kunci pandangannya tentang martabat manusia. Dengan kata lain, setiap manusia memiliki nilai pada dirinya sendiri, karena ia merupakan satu-satunya mahluk di dunia ini yang merupakan citra Tuhan. Oleh karena itu, konsep Heschel tentang manusia sebagai citra Tuhan mengacu pada dimensi moral, spiritual, dan intelektualnya, yang notabene tidak dimiliki secara sempurna oleh hewan ataupun tumbuhan.

Ia juga berpendapat bahwa manusia adalah sebuah problem. Artinya, manusia selalu berada di dalam ketidakpastian, berada dalam tegangan. Ketidakpastian apakah perjalanan hidup akan mengarah pada kemajuan, atau justru kemunduran. Akan tetapi, ketidakpastian itu mengundang sejuta tafsiran yang memungkinkan kita berpikir dan bertindak secara kreatif. Ketidakpastian akan eksistensinya itulah yang juga membedakan manusia dari hewan ataupun tumbuhan. Dengan berada dalam ketidakpastian, manusia membedakan diri dari hewan atapun tumbuhan. Dengan kata lain, ketidakpastian inilah yang menandakan keluruhan martabat manusia, dimensi transendensinya.

Tuhan bisa dikenali, menurut Heschel, karena manusia mampu mentransendensikan diri dari kodratnya. Tuhan bisa dikenali karena manusia memiliki harkat dan martabat yang terbuka bagi pengharapan transenden tak terbatas pada masa depan. Manusia terbuka untuk pengalaman-pengalaman religius, yang, menurutny, merupakan gerbang pertemuan dirinya dengan Tuhan. Di depan gerbang itu, bukan manusia yang mengejar Tuhan, tapi Tuhanlah yang membuka dirinya pada manusia. Dalam kosa katanya, Heschel menulis

Bukanlah manusia yang mencari Tuhan, melainkan Tuhanlah yang mencari manusia.

Dengan kata lain, keluhuran harkat dan martabat manusia "merangsang" Tuhan untuk mencari dan menemukan manusia. Heschel sendiri berpendapat bahwa sejarah manusia bukanlah sejarah manusia mencari Tuhan, melainkan sejarah Tuhan yang mencari manusia. Begitu luhur makna manusia di tatapan matanya, sehingga, karena keluhuran martabatnya, manusia boleh mendapatkan kehormatan untuk "bersentuhan" dengan Tuhan.

Pranala luar

sunting