(Translated by https://www.hiragana.jp/)
Kilesa - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dalam Buddhisme, kilesa (Pali; Sanskerta: क्लेश kleśa), dikenal juga sebagai kekotoran batin atau pengotor batin, adalah keadaan mental yang mengeruhkan pikiran dan biasanya terwujud dalam perbuatan buruk melalui pikiran, ucapan, dan jasmani.

Literatur Theravāda

sunting

Dalam aliran Theravāda, penyebab eksistensi dan penderitaan (dukkha) manusia diidentifikasi sebagai pengidaman (taṇhā) yang disertai dengan kekotoran batin (kilesa). Kekotoran batin yang mengikat manusia pada siklus kelahiran kembali diklasifikasikan ke dalam satu kelompok sepuluh belenggu (saṃyojana). Kilesa adalah fenomena yang sering kali muncul, bertahan untuk sementara dan kemudian menghilang. Tingkat kilesa bisa berupa kasar, menengah, dan halus. Theravādin meyakini bahwa kekotoran batin tidak hanya berbahaya bagi diri sendiri, tetapi juga berbahaya untuk makhluk lain. Kekotoran batin ini adalah kekuatan pendorong di belakang semua perbuatan buruk yang dilakukan oleh semua makhluk.

Sutta Piṭaka

sunting

Penyebab perbuatan buruk

sunting

Sutta Piṭaka, dalam Kammanidāna Sutta, Aṅguttara Nikāya 10.174, mengklasifikasikan tiga jenis kilesa sebagai penyebab, sumber, dan asal-mula segala perbuatan buruk (akusala-kamma), seperti membunuh, mencuri, berhubungan seksual yang salah, berbohong, berucap kasar, bergosip, larut dalam kerinduan, berniat buruk, dan berpandangan salah. Tiga kilesa tersebut adalah:[1]

  1. Keserakahan (Pāli: lobha)
  2. Kebencian (dosa)
  3. Delusi (moha)

Rintangan batin

sunting

Kilesa yang menghambat konsentrasi meditatif (samādhi) disajikan dalam formula “Lima Rintangan Batin”:[2]

  1. Niat jahat (Pāli: byāpāda atau vyāpāda)
  2. Kemalasan dan kelambanan/kantuk (thīna-middha)
  3. Hasrat sensual (kāmacchanda)
  4. Kegelisahan/kebingungan dan penyesalan (uddhacca-kukkucca)
  5. Keraguan (vicikicchā)

Rintangan batin berupa kemalasan dan kelambanan/kantuk (thīna-middha) disebut bersamaan karena keduanya merupakan faktor-mental yang munculnya selalu bersamaan, begitu juga dengan kegelisahan/kebingungan dan penyesalan (uddhacca-kukkucca).[3]

Abhidhamma Piṭaka

sunting

Sepuluh jenis kilesa

sunting

Meskipun Sutta Piṭaka tidak merinci daftar lengkap kilesa, kitab komentar Abhidhamma Piṭaka, yaitu Dhammasaṅgani (Dhs. 1229ff.) dan Vibhanga (Vbh. XII) serta Visuddhimagga pasca-kanonik (Vsm. XXII 49, 65) mengklasifikasikan sepuluh kekotoran batin (dasa kilesa-vatthūni) sebagai berikut:

  1. Keserakahan (Pāli: lobha)
  2. Kebencian (dosa)
  3. Delusi (moha)
  4. Kesombongan (māna)
  5. Pandangan salah (micchādiṭṭhi)
  6. Keraguan (vicikicchā)
  7. Kemalasan (thīna)
  8. Kegelisahan/kebingungan (uddhacca)
  9. Tidak-tahu-malu (ahirika)
  10. Tidak-takut-akibat-perbuatan-jahat (anottapa)[4]

Kitab Vibhaṅga juga mencakup daftar beruas delapan (Pāli: aṭṭha kilesa-vatthūni) yang terdiri dari delapan daftar pertama dari sepuluh daftar di atas.[5]

Tiga akar buruk

sunting

Dalam literatur Pali, tiga kilesa pertama dalam sepuluh daftar Abhidhamma di atas (Pāli: lobha dosa moha) dikenal sebagai "akar buruk" (Pāli: akusala-mūla); dan kebalikannya (Pāli: alobha adosa amoha) adalah tiga "akar baik" (Pāli: kusala-mūla atau akar kusala).[6] Kehadiran akar yang baik dan buruk tersebut dalam perbuatan batin (manokamma), ucapan (vacīkamma), atau jasmani (kāyakamma) mengkondisikan penilaian moral atas kesadaran (citta) yang akan muncul dan faktor-faktor mental yang terkait dengannya.[7]

Faktor mental keserakahan (lobha) dan kebencian (dosa) tidak dapat muncul sendiri tanpa eksistensi delusi (moha). Kitab Abhidhamma mengklasifikasikan kesadaran buruk (akusala-citta) dalam tiga kelompok:[8][3]

  1. Kesadaran yang berakar pada kebencian (dosamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental kebencian (dosa) dan delusi (moha).
  2. Kesadaran yang berakar pada keserakahan (lobhamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental keserakahan (lobha) dan delusi (moha).
  3. Kesadaran yang berakar pada delusi (mohamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental delusi (moha).

Tiga tahap kilesa

sunting

Tiga tahap kilesa dijelaskan dalam Tipitaka Pāli. Selama tahap pasif, kilesa tertidur di dasar kontinum mental sebagai kecenderungan laten (Pāli: anusaya), tetapi melalui dampak dari rangsangan sensorik, kecenderungan-kecenderungan ini akan mewujudkan dirinya (Pāli: pariyutthana) di permukaan kesadaran dalam bentuk pikiran jahat, emosi, dan kehendak. Jika kecenderungan-kecenderungan ini mengumpulkan kekuatan tambahan, kekotoran batin akan mencapai tahap pelanggaran berbahaya (Pāli: vitikkama), yang kemudian akan melibatkan tindakan fisik atau vokal.

Theravādin percaya bahwa kilesa ini merupakan kebiasaan yang terlahir dari ketidaktahuan (Pali: avijja) yang menimpa pikiran semua makhluk yang tak-tercerahkan, yang berpegang teguh terhadapnya dan terhadap pengaruhnya dalam ketidaktahuannya terhadap kebenaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya, kilesa tersebut tidak lebih dari sekadar noda-noda yang telah mendera pikiran, menciptakan penderitaan, dan mengondisikan tekanan batin. Makhluk yang tak-tercerahkan menjadi lekat pada tubuh, dengan asumsi bahwa kelekatan itu mewakili diri, padahal tubuh adalah fenomena tak-kekal yang terbentuk dari empat unsur dasar.[9]

Kemunculan kilesa dan manipulasi batin diyakini telah mencegah batin dari penyadaran atas sifat sejati dari kenyataan. Perbuatan buruk pada akhirnya dapat memperkuat kekotoran batin, tetapi dapat dilemahkan dan dibasmi dengan mengikuti Jalan Mulia Berunsur Delapan. Berdasarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, ketidaktahuan (Pāli: avijja) dihancurkan oleh kebijaksanaan (Pāli: paññā).

Literatur Mahāyāna

sunting

Enam akar kilesa

sunting

Kitab Abhidharma-Kosa mengidentifikasi enam akar kilesa (mūlakleśa) sebagai berikut:[10]

  • Kelekatan (Sanskerta: rāga)
  • Amarah (Sanskerta: pratigha)
  • Ketidaktahuan (Sanskerta: avidyā)
  • Kesombongan/tipu daya (Sanskerta: māna)
  • Keraguan (Sanskerta: vicikitsā)
  • Pandangan salah (Sanskerta: dṛṣṭi)

Rujukan

sunting
  1. ^ "AN 10.174: Kammanidānasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-06-22. 
  2. ^ Bhikkhu Bodhi. "The Noble Eightfold Path: The Way to the End of Suffering". Buddhist Publication Society.
  3. ^ a b Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  4. ^ Rhys Davids & Stede (1921–5), p. 217; and, Nyanatiloka (1988), entry for "kilesa," retrieved 2008-02-09 from "BuddhaSasana" at http://www.buddhanet.net/budsas/ebud/bud-dict/dic3_k.htm Diarsipkan 2012-03-28 di Wayback Machine..
  5. ^ Rhys Davids & Stede (1921–25), p. 217.
  6. ^ In addition to frequent reference in the Abhidhamma and post-canonical Pali literature, references to the unwholesome roots (akusala-mūla) are sprinkled throughout the Sutta Pitaka. For instance, in the Digha Nikaya, it can be found in DN 33 (D iii.215) and DN 34 (D iii.275); in the Majjhima Nikaya, it is the first of several topics discussed by Ven. Sariputta in the well-known Sammādiṭṭhi Sutta ("Right View Discourse," MN 9); and, in the Itivuttaka, a brief discourse on three unwholesome roots starts off the "Section of the Threes" (Iti. 50). However, in none of these Sutta Pitaka texts are the three unwholesome roots referred to as kilesa. Such an association appears to begin in the Abhidhamma texts.
  7. ^ Nyanatiloka (1988), entry for "mūla," retrieved 2008-02-09 from "BuddhaSasana" at http://www.buddhanet.net/budsas/ebud/bud-dict/dic3_m.htm.
  8. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  9. ^ Dan Lusthaus, What is and isn't Yogacara. Diarsipkan 2013-12-16 di Wayback Machine.
  10. ^ Guenther, Herbert V. & Leslie S. Kawamura (1975), Mind in Buddhist Psychology: A Translation of Ye-shes rgyal-mtshan's "The Necklace of Clear Understanding." Dharma Publishing. Edisi Kindle, 321.