(Translated by https://www.hiragana.jp/)
Ritual Bakar Tongkang - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ritual Bakar Tongkang

Ritual Bakar Tongkang dikenal juga sebagai Upacara Bakar Tongkang (Hanzi Sederhana: 烧王せん庆典; Hanyu Pinyin: Shao Wang Chuan Qing Dian) atau singkatnya dalam Bahasa Hokkien dikenal sebagai Go Gek Cap Lak (Hanzi Sederhana: 五月ごがつじゅうろくにち) adalah sebuah ritual tahunan masyarakat di Bagansiapiapi yang telah terkenal di mancanegara dan masuk dalam kalender visit Indonesia. Setiap tahunnya ritual ini mampu menyedot wisatawan dari negara Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan hingga Tiongkok Daratan. Kini even tahunan ini gencar dipromosikan oleh pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sebagai sumber pariwisata.[1]

Upacara Wangkang
NegaraIndonesia
Referensi01608
KawasanAsia dan Pasifik
Sejarah Inskripsi
Inskripsi2020
Ritual Bakar Tongkang Bagansiapiapi di provinsi Riau.

Sejarah Bakar Tongkang

sunting
 
Sebuah Tongkang yang diarak ke lokasi upacara.

Bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Provinsi Fujian - China, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.

Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada daratan dan kehidupan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan Selat Malaka tersebut.

Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang yang kesemuanya bermarga Ang, di antaranya: Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.

Asal usul nama Bagansiapiapi

sunting

Cahaya terang yang dilihat ke-18 perantau ini pada waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang di atas bagan (tempat penampungan ikan di pelabuhan). Sehingga para perantau menamakan daratan tersebut dengan nama Baganapi yang kini dikenal sebagai Bagansiapiapi.

Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa Bagansiapiapi. Sehingga mayoritas warga Tionghoa Bagansiapiapi kini adalah bermarga Ang atau Hong.

Pada penanggalan Imlek bulan kelima tanggal 16, para perantau menginjakkan kaki di daratan tersebut, mereka menyadari bahwa di sana terdapat banyak ikan laut, dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah perantauan tersebut.

Sebagai wujud terima kasih kepada dewa laut Kie Ong Ya, para perantau memutuskan untuk membakar Tongkang yang ditumpangi mereka sebagai sesajen kepada dewa laut.[2]

Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak sanak-keluarga dari Negeri Tirai Bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak. Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut di-ekspor ke berbagai benua lain hingga Bagansiapiapi menjadi penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia.

Perdagangan di selat Melaka semakin ramai hingga membuat Belanda melirik Bagansiapiapi sebagai salah satu basis kekuatan laut Belanda, yang kemudian oleh Belanda membangun pelabuhan yang di Bagansiapiapi, konon katanya pelabuhan tersebut adalah pelabuhan paling canggih saat itu di selat Melaka.

Tidak hanya hasil laut yang saat itu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bagansiapiapi, tetapi ada juga hasil karet alam yang juga sangat terkenal. Pada masa perang dunia I dan perang dunia II, Bagansiapiapi disebut sebagai salah satu daerah penghasil karet berkualitas tinggi yang saat itu banyak sekali dipakai untuk kebutuhan peralatan perang seperti ban dari bahan karet.

Pengolahan karet alam tersebut dilakukan sendiri oleh masyarakat Bagansiapiapi di beberapa pabrik karet di Bagansiapiapi. Namun setelah perang dunia II selesai, permintaan akan karet semakin menurun hingga beberapa pengusaha menutup pabrik karet tersebut.

Dari sisi kebudayaan, terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah berumur ratusan tahun. Di tempat kelenteng inilah Dewa Kie Ong Ya saat ini disembahyangkan. Dewa Kie Ong Ya yang ada di dalam kelenteng Ing Hok Kiong saat ini adalah patung asli yang dibawa ke-18 perantau pada saat pertama kali menginjak kaki di daratan Bagansiapiapi.

Go Cap Lak

sunting

Untuk mengenang para leluhur dalam menemukan Bagansiapiapi dan sebagai wujud syukur terhadap dewa Kie Ong Ya, kini setiap tahun diadakan Ritual Bakar Tongkang atau Go Cap Lak. Go berarti bulan kelima dan Cap Lak berarti tanggal enambelas, perayaan Go Cap Lak jatuh pada tanggal 16 bulan kelima lunar setiap tahunnya.

Rezim Orde Baru

sunting

Pada masa pemerintahan Orde Baru, perayaan Go Cap Lak sempat vakum selama puluhan tahun. Hingga tahun 2000, perayaan ini kembali digelar. Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir menjadikan ajang tahunan ini sebagai sarana pariwisata. Parayaan ini masuk dalam kalender visit Indonesia setiap tahunnya.

Referensi dan sumber

sunting

Pranala luar

sunting