(Translated by https://www.hiragana.jp/)
Sejarah Maluku - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Maluku memiliki sejarah yang panjang mengingat daerah ini telah dikuasai bangsa asing selama kurang lebih 2300 tahun lamanya dengan didominasi secara berturut-turut oleh bangsa Arab, Portugis, Spanyol, dan Belanda serta menjadi daerah pertempuran sengit antara Jepang dan Sekutu pada era Perang Dunia ke II.

Para penduduk asli Banda berdagang rempah-rempah dengan negara-negara Asia lainnya, seperti Tiongkok, paling tidak sejak zaman Kekaisaran Romawi. Dengan adanya kemunculan agama Islam, perdagangan didominasi oleh para pedagang Muslim. Salah satu sumber kuno Arab menggambarkan lokasi dari pulau ini berjarak sekitar lima belas hari berlayar dari Timur 'pulau Jaba' (Jawa) namun perdagangan langsung hanya terjadi hingga akhir tahun 1300-an. Para pedagang Arab tidak hanya membawa agama Islam, tetapi juga sistem kesultanan dan mengganti sistem lokal yang di mana didominasi oleh Orang Kaya, yang di samping itu lebih efektif digunakan jika berurusan dengan pihak luar.

Melalui perdagangan dengan para pedagang Muslim, bangsa Venesia kemudian datang untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah dari Eropa antara 1200 dan 1500, melalui dominasi atas Mediterania ke kota pelabuhan seperti Iskandariyah (Mesir), setelah jalur perdagangan tradisional mulai terganggu oleh Mongol dan Turki. Dalam menunjang monopoli ini kemudian mereka ikut serta dalam Abad Eksplorasi Eropa. Portugal mengambil langkah awal penjelajahan dengan berlayar ke sekitar tanjung selatan benua Afrika, mengamankan rute-rute penting perdagangan, bahkan tanpa sengaja menemukan pantai Brasil dalam pencarian ke arah selatan. Portugal akhirnya sukses dan pembentukan daerah monopolinya sendiri dan memancing kekuasaan maritim lain seperti Spanyol-Eropa, Prancis, Inggris dan Belanda untuk mengganggu posisinya.

Karena tingginya nilai rempah-rempah di Eropa dan besarnya pendapatan yang dihasilkan, Belanda dan Inggris segera terlibat dalam konflik untuk mendapatkan monopoli atas wilayah ini. Persaingan untuk memiliki kontrol atas kepulauan ini menjadi sangat intensif bahkan untuk itu Belanda bahkan memberikan pulau Manhattan (sekarang New York), di pihak lain Inggris memberikan Belanda kontrol penuh atas kepulauan Banda. Lebih dari 6.000 jiwa di Banda telah gugur dan mati syahid dalam perang memperebutkan rempah-rempah ini. Dan di kemudian hari, kemenangan atas kepulauan ini dikantongi Kerajaan Belanda.

Prasejarah

sunting

Menurut penyelidikan geologis, Kepulauan Maluku terbentuk antara 150 juta hingga satu juta tahun yang lalu dengan Seram sebagai pulau tertua.[1] Terdapat berbagai cerita rakyat di Maluku tentang dari mana penduduk Maluku berasal. Menurut masyarakat Maluku Tengah, terdapat Gunung Nunusaku yang menjadi tempat dari danau keramat yang menurunkan Sungai Eti, Sungai Tala, dan Sungai Sapalewa di Seram Bagian Barat.[2] Di danau tersebut, terdapat sebuah pohon beringin yang menjadi asal manusia-manusia asli Seram, Alifuru atau manusia awal, yang nantinya menyebar ke pulau-pulau sekitarnya. Kini, Alifuru menurukan suku Alune dan Wemale yang mendiami pedalaman. Di Kepulauan Kei, masyarakat mempercayai keberadaan manusia asli yang berdiam di gua dan pohon kayu. Mereka lenyap menjadi makhluk halus setelah manusia pendatang mendesaknya.[3]

Hingga kini, masyarakat Ambon-Lease menganggap bahwa moyangnya berasal dari Nunusaku di Seram, sementara masyarakat Kei menunjuk Seram dan Papua. Selain Seram dan Papua, penguasa-penguasa desa atau negeri seperti raja pun banyak yang menambahkan Jawa dan Bali sebagai asal mereka.[4] Meskipun demikian, sumber penelitian mencatat bahwa penduduk asli Maluku sekarang berasal dari berbagai bangsa asing yang mendatangi Maluku untuk menetap atau sekadar singgah. Suku-suku bangsa yang memasuki sebagian besar Kepulauan Melayu juga menyinggahi Maluku. Mereka adalah bangsa Austromelanesia, terdiri dari Negrito dan Wedda yang mendiami pedalaman, dilanjutkan oleh Proto-Melayu, Deutero-Melayu, dan terakhir Mongoloid. Banyak dari mereka menyinggahi pulau-pulau besar seperti Seram, membentuk Alifuru. Dari pulau-pulau besar tersebut, mereka menyebar ke pulau-pulau sekitarnya.[3]

Kebudayaan

sunting

Kebudayaan tertua yang ditemukan di Maluku adalah Batu Tua, yakni kebudayaan tertua yang dapat ditemukan di Indonesia yang umumnya terpusat di Jawa.[5] Budaya Batu Tua terpusat di bagian tengah (Maluku Tengah) dan timur Seram.[6] Sebagian besar penemuan berupa alat-alat serpih dan sedikit peralatan besar seperti kapak perimbas dan kapak penetak.[7] Meskipun demikian, layaknya tempat-tempat penemuan lainnya di Indonesia Timur dengan pengecualian Liang Bua, penemuan Batu Tua tidak disertai oleh penemuan manusia pendukungnya seperti manusia dari Solo dengan kebudayaan Ngandongnya.[8][5]

 
Lukisan gua corak kadal di Kaimana, Papua, serupa dengan yang ada di Seram dan Kei.

Kebudayaan Batu Madya di Maluku hadir bersamaan dengan masuknya bangsa Austromelanesia. Batu Madya meninggalkan jejak berupa peralatan kasar dari batu dan tulang serta gua yang dapat ditemukan di Seram, Buru, Banda, Kei, Aru, dan Tanimbar.[9][5] Kesenian pun dimulai pada zaman ini, dilihat dari lukisan gua yang bernuansa merah dan putih. Penyebaran lukisan gua terbatas di Seram, Buru, dan Kei.[10] Corak lukisan beragam berdasarkan daerah sebarannya. Cap tangan tersebar di ketiga wilayah. Corak ikan terdapat di Seram dan Buru; pola geometris terdapat di Buru dan Kei; corak binatang kadal dan cicak terdapat di Seram dan Kei. Seram tidak memiliki corak khasnya sendiri; corak khas Buru meliputi manusia menari, arah mata angin, perahu, dan lingkaran, sedangkan corak khas Kei berupa matahari dan topeng manusia.[11] Kini, masyarakat Maluku menganggap gua-gua berlukisan tersebut keramat dan tidak dapat dimasuki tanpa upacara adat.[12]

Batu Muda meninggalkan jejak yang menjadi landasan perkembangan kebudayaan Maluku kini, terlebih Maluku menjadi pertemuan dua kelompok kebudayaan Batu Muda di Indonesia, walaupun sebarannya terbilang sedikit dibandingkan Sulawesi dan Oseania yang terletak di sampingnya.[12][13] Seiring dengan dikenalnya pertanian, zaman ini meninggalkan berbagai jenis kapak yang terbagi menjadi dua jenis, kapak empat persegi panjang di Saparua yang tebal dan berpenampang lintang trapesium serta kapak lonjong di Ambon, Letti, Seram, dan Tanimbar.[14] Terdapat sebuah situs kebudayaan Batu Muda di Ay.[13] Hingga kini, kapak-kapak tersebut masih disimpan penduduk setempat sebagai benda gaib bernama batu guntur atau biji guntur.[15] Batu pemali merupakan salah satu contoh kebudayaan Batu Besar yang masih dilestarikan hingga sekarang. Batu tersebut umumnya terletak di puncak atau di dekat baileo masing-masing negeri atau desa.[16] Di Kei, Batu Besar dilestarikan dalam bentuk siran, kuburan para raja dan pemimpin desa yang digunakan sebagai tempat musyawarah desa.[17] Kepercayaan Ngumat dan Wadar Metu yang juga berasal dari Kei pun memiliki akar dari Batu Besar, serupa dengan kepercayaan asli yang ada di Maluku Tengah.[18]

Zaman perunggu tiba di Maluku sekitar abad pertama. Keberlangsungan zaman ini didukung oleh mulai ramainya perdagangan di Asia Tenggara. Hasil-hasil bumi Maluku dikukarkan dengan peralatan perunggu seperti nekara, kapak, dan topi.[19] Banyak dari peninggalan-peningggalan ini disimpan oleh penduduk di sekitar tempat penemuannya—Saparua, Ambon, Letti, Banda, Tanimbar, Seram, dan Kei—sebagai benda pusaka.[20] Peninggalan pada masa ini diperkirakan berasal dari daratan Asia Tenggara, tepatnya Tonkin dan Dongson, serta Tiongkok Selatan.[21]

Prapenjajahan

sunting

Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, masyarakat Maluku hidup berkelompok sesuai dengan garis keturunan ayah dan kekerabatan. Seiring berjalannya waktu, kelompok-kelompok ini tumbuh menjadi satuan politik. Di Maluku sendiri, kelompok-kelompok ini membentuk semacam republik desa aristokrasi yang kini ada dalam bentuk negeri, berbeda dengan Maluku Utara yang menerapkan bentuk kerajaan.[22] Meskipun demikian, di sepanjang sejarahnya, kawasan Maluku Tengah sempat memiliki beberapa kerajaan kecil seperti Tanah Hitu dan Iha.

 
Meskipun berasal dari Maluku Utara, Ternate (Uli Lima) berhasil menguasai sebagian besar Provinsi Maluku sekarang, sementara Tidore (Uli Siwa) menguasai Papua.

Di Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, kelompok masyarakat berdasarkan kekerabatan tersebut membentuk matarumah/ub yang kini menjadi fam di kawasan yang tinggi atau pegunungan. Beberapa matarumah ini akan membentuk sebuah kampung kecil atau soa/rahanjam yang nantinya akan menyatu dengan soa lainnya membentuk hena atau aman, kini disebut sebagai negeri lama/ohoiratun. Negeri-negeri lama tersebut nantinya akan dipaksa turun ke pesisir menjadi negeri sejak zaman Portugis hingga puncaknya pada masa Perusahaan Hindia Timur Belanda. Negeri-negeri lama ini membentuk uli atau persekutuan negeri. Di Maluku Utara yang menerapkan bentuk kerajaan, terdapat dua uli, yaitu Uli Lima di bawah Ternate dan Uli Siwa di bawah Tidore. Sementara itu, di Maluku Tengah, uli disebut sebagai pata; terdiri dari Pata Lima yang terdiri dari lima negeri dan Pata Siwa yang terdiri dari sembilan negeri. Di Maluku Tenggara, keduanya disebut berturut-turut sebagai Lor Lim dan Ur Siu.[23] Meskipun Uli Lima dan Uli Siwa berasal dari Maluku Utara, pengaruhnya meluas hingga Maluku, misalnya Kerajaan Huamual yang meliputi Seram Barat dan Buru termasuk dalam Uli Lima.[24]

Portugis dan Spanyol

sunting

Awal kedatangan

sunting
 
Lukisan cat air Portugis yang menggambarkan orang Banda yang tidak percaya pada paruh awal abad XVII.

Menyusul Penaklukan Goa pada 1510 dan Melaka pada 1511, Afonso de Albuquerque mengirim António de Abreu, Francisco Serrão, dan Fernando de Magelhaens dengan tiga kapal terpisah dari Melaka untuk mencari Kepulauan Maluku.[25][26] Abreu berhasil tiba di Banda pada 1511 dan pulang membawa rempah ke Melaka,[27][28] sementara Serrão sempat terdampar, namun berhasil tiba di Hitu, Ambon pada 1512.[29][30] Ia diterima baik oleh raja setempat dan diizinkan mendirikan loja.[a][31] Menyebarnya kabar tersebut dan kabar penaklukan Melaka oleh Portugis membuat Ternate dan Tidore bersaing menarik hati Serrão, meski Ternate menang cepat dan berhasil membawa Serrão ke Ternate.[30] Selain disambut baik oleh Sultan Bolief, ia diizinkan mendirikan feitoria[b] di sana dan secara taklangsung menjadi Kapten Portugis Maluku pertama.[32][33] Portugis pun membangun beberapa loja dan feitoria di Ambon[c] dan Banda, memicu tumbuhnya permukiman di sekitarnya di mana terjadi banyak perkawinan campur serta penyebaran injil.[36] Ternate dan Banda berperan sebagai pusat perdagangan, sementara Hitu sebagai bandar.[37]

Sementara itu, Magelhaens tidak melanjutkan pelayarannya. Ia kembali ke Portugal, kemudian mencari dukungan Kaisar Romawi Suci, Karl V.[d] Dengan dukungannya, ia berlayar kembali menuju Maluku bersama pasukannya pada 1519.[38] Berbeda dengan jalur sebelumnya, Magelhaens melewati pesisir Brasil, turun ke sebuah selat di selatan Amerika menuju Cebu.[39] Terbunuh di sana, rombongannya tetap berlanjut ke Borneo dan dari sana tiba di Tidore pada 1521.[40] Di sana, rombongan Spanyol diterima baik oleh Sultan Al-Mansur dan berhasil bersekutu dengan Tidore serta Jailolo.[41][42] Setelah Spanyol datang, terjadi beberapa pertikaian dan peperangan antara Portugis dan Spanyol yang diselesaikan dengan penandatanganan Perjanjian Saragosa pada 1529. Spanyol harus meninggalkan Maluku dengan tanggungan yang harus dibayar oleh Portugis.[43][44]

Kedigdayaan Portugis

sunting

Penyalahgunaan kekuasaan sering dilakukan kapten-kapten Portugis. Meskipun demikian, terdapat dua kapten Portugis yang sangat berpengaruh dalam sejarah Maluku. Hubungan buruk Portugis dengan raja-raja setempat memuncak pada masa pemerintahan Kapten Tristão de Ataide. Campur tangan Portugis dalam urusan kerajaan menimbulkan perlawanan bawah tanah yang berakhir dengan penangkapan Tabarija, Sultan Ternate, dengan tuduhan pengkhianatan, dilanjutkan dengan pengasingan ke Goa.[45][46] Penyalahgunaan kekuasaan de Ataide selama menjabat ini menimbulkan kerusuhan di Maluku hingga ia digantikan oleh António Galvão pada 1536 yang dikenal dengan masa tenang.[47] Galvão menghasilkan kebijakan untuk menjaga hubungan baik dengan raja-raja Maluku. Ia pun dikenal membawa teknologi pembangunan Eropa dan tanaman-tanaman seperti tomat, alpukat, dan ketela dari jajahan lainnya untuk memperbaiki gizi rakyat Maluku.[48] Pada masa Galvão pula bangsawan Maluku mendapatkan pendidikan barat dan katekismus dengan bantuan Yesuit.[49] Hal ini memperkokoh kedudukan Portugis di Maluku,[50] banyak raja Maluku datang ke Ternate untuk membayar upeti, mengirimkan anaknya sekolah, serta meminta petunjuk agama baru.[51] Pada 1537, Portugis mendirikan jajahan baru di Buru, Ambon, dan Seram; diberikan sebagai hadiah oleh Dom Manuel Tabarija[e] melalui Jordão de Freitas yang kemudian hari menjadi kapten.[53] Di Ambon, hubungan antara Portugis dengan Hitu juga terjaga dengan baik. Kapal-kapal Portugis juga mulai berlabuh di Tawiri dan Hatiwe yang masih dalam kekuasaan Hitu dan termasuk dalam Uli Siwa. Di sana, tumbuh pula permukiman Kristen di mana sering terjadi perkawinan campuran.[54] Namun, pada 1537–1538, terjadi pertikaian Portugis-Hitu hingga Portugis sempat diusir ke Poka di mulut Teluk Dalam yang termasuk dalam Uli Lima.[55] Ketika pemerintahan Galvão berakhir pada 1539, para sultan dan rakyat Maluku memohon kepada Raja Portugal agar O Pai[f] mereka menjabat seumur hidup.[57][56] Sejak itu, sejarah Maluku diisi oleh pertikaian antara raja-raja pribumi dengan Portugis.[58]

 
Nossa Senhora da Anunciada (kini Nieuw Victoria) nantinya digunakan sebagai pusat pemerintahan Belanda di Maluku; tumbuh menjadi Kota Ambon.[59]

Sebelum kematiannya, Dom Manuel Tabarija mewariskan Maluku kepada Raja Portugal pada 1545.[53] Pada tahun yang sama pula, Fransiskus Xaverius mengabarkan setidaknya sudah ada 37 desa Kristen di Ambon dan Lease.[60] Setahun kemudian, Sultan Khairun menyerahkan kembali Maluku kepada Raja Portugal sebagai vasal.[61] Ambon mendapatkan kaptennya sendiri pada 1562, meski masih di bawah kapten di Ternate.[62] Saat menguasai Ternate, Portugis juga berhasil menguasai Lease dan tenggara Maluku.[63] Hubungan buruk Portugis dengan raja-raja Maluku memuncak kembali setelah Portugis membunuh Sultan Khairun pada 1570.[64] Anaknya, Baabullah, berhasil mengusir Portugis ke Ambon dengan dukungan Tidore dan Bacan pada 1575.[45] Saat itu pula Portugis membangun Benteng Nossa Senhora da Anunciada dan menjadikan Ambon sebagai pusat kekuatannya nya di Maluku.[65][66] Meskipun demikian, Tidore yang merasa tertekan oleh Ternate beralih ke Portugis. Pada 1578, Portugis sudah membangun benteng di Tidore dan kembali menguasai Maluku.[67] Hal ini disusul oleh kedatangan bangsa Barat ketiga di Maluku, yaitu Inggris. Drake mengunjungi Banda dan Buru pada 1579.[68][69] Kedatangannya memberhentikan ketergantungan perdagangan rempah dengan Portugis.[70] Pada 1580, Portugal dan Spanyol bersatu di bawah Mahkota Spanyol. Spanyol mencoba menguasai kembali Maluku dengan menduduki bekas benteng Portugis dari pusatnya di Filipina. Pada masa ini, Tidore menjadi pusat kekuatan.[70][71] Pada 1605, Portugis sempat lagi menaklukkan kembali Hitu setelah Ternate dan sekutunya menyerang Ambon sebelumnya.[72]

Perusahaan Hindia Timur Belanda

sunting

Awal kedatangan dan persaingan

sunting
 
Peta Ambon-Lease dengan Gubernur Ambon pertama, Frederick de Houtman. Kala itu, Ambon masih menjadi pusat VOC.

Di bawah pimpinan Wybrand van Warwijck, lima kapal Belanda pertama kali mendatangi Maluku pada 1599, mengunjungi Ambon[c] dan Banda.[67][73] Inggris di bawah James Lancaster tiba lagi di Maluku, kemudian membangun loji dan menetap di Banda, terutama di Rhun pada 1601.[72] Pada Maret 1602, seluruh perusahaan dagang Belanda bersatu menjadi Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).[g][75] Dengan dukungan Ratu Elizabeth I, Inggris melalui Perusahaan Hindia Timur Inggris tiba kembali di Maluku pada 1604, mengunjungi Ambon dan Banda, namun mendapatkan perlawanan VOC; memicu persaingan Inggris-Belanda.[76] Portugis menyerah tanpa perlawanan kepada Belanda yang memiliki kedudukan terlalu kuat pascaperebutan Benteng Nossa Senhora da Anunciada di Ambon pada 1605. Setelah itu, Portugis mengangkat kaki dari Ambon.[77] Ambon menjadi pusat VOC di Nusantara yang pertama dan menjadi tempat kedudukan tiga gubernur jenderal pertama sebelum pindah ke Batavia pada 1619.[78]

Kepulauan Maluku, layaknya jajahan besar VOC lainnya seperti Formosa dan Sailan, mendapatkan gubernurnya sendiri.[74] Kepulauan terbagi menjadi tiga kegubernuran: Ambon, Kepulauan Banda, dan Ternate.[79] Tiap kegubernuran dikepalai oleh seorang gubernur dan dewan yang mengurusi urusan administratif dan politik serta mengatur produksi rempah dan perdagangan setempat. Administrasi VOC terdiri dari pegawai yang memiliki berbagai pangkat seperti pedagang senior dan junior, pengacara, dan akuntan.[80] Kepulauan lainnya di Maluku belum menarik minat Belanda, kecuali Aru sebagai sumber mutiara dan tempat keberadaan burung cenderawasih.[81]

Meski bersaing dengan Inggris, VOC mengizinkan Inggris untuk mendirikan kantor dagang di Ambon pada 1620 karena urusan diplomatik Eropa.[82] Sementara itu, seiring dengan kemajuan VOC dalam menguasai pasar rempah, perlawanan dari penduduk asli timbul dalam bentuk penyelundupan rempah; memicu Pembantaian Banda oleh VOC pada 1621 yang melancarkan VOC untuk menguasai Banda sepenuhnya dan membersihkan penduduk asli Banda Neira,[h] kemudian menggantinya dengan orang Belanda dan kaum budak.[84][79] Persaingan Inggris-Belanda berakhir pada 1623 ketika Inggris meninggalkan Maluku setelah Pembantaian Amboyna yang membunuh sepuluh orang Inggris.[82] Kekerasan-kekerasan ini dapat terjadi setelah Jan Pieterzoon Coen menjadi gubernur jenderal.[82] Pada kurun waktu 1620-an ini pula VOC sudah menguasai perdagangan di Kepulauan Aru.[81]

Kedigdayaan

sunting

Di Ambon-Lease, penghasil cengkih menuntut penjualan dengan harga yang lebih tinggi. Karenanya, seperti di Banda, penghasil setempat juga mencoba menjual rempah kepada pihak ketiga. Untuk mencegahnya, VOC menggunakan kekerasan yang akhirnya timbul menjadi serangkaian perang di Pulau Ambon dan Seram, dikenal sebagai Perang Ambon yang terjadi antara 1624 hingga 1658. Salah satu dari Perang Ambon adalah Perang Ambon Ketiga yang terjadi pada 1636–1637 ketika warga Kristen Ambon memberontak karena terkena akibat pelayaran hongi dan mendapatkan perlakuan buruk dari VOC.[85][86] Pada masa Perang Ambon ini, banyak tawanan perang yang dijadikan budak.[85]

Pada 1650, Gubernur Ambon Arnold de Vlaming mengusulkan pembatasan penanaman cengkih agar hanya ditanam di Huamual, Seram untuk menekan jumlah produksi cengkih.[85] Penolakan rakyat terhadap usulan tersebut serta hak ekstirpasi[i] timbul menjadi Perang Huamual antara Huamual dan VOC-Ternate yang terjadi hingga 1656 dan menyebar ke Buru hingga 1658.[88] Sejak berakhirnya perang ini, penanaman cengkih dibatasi hanya di Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut (Ambon-Lease), sementara pala hanya boleh ditanam di Banda.[87][89] Hal ini mewujudkan monopoli perdagangan rempah VOC, meski melibatkan perdamaian bersenjata.[87] VOC benar-benar menjadi kekuatan Eropa paling utama di Maluku setelah Tidore dengan bantuan VOC memaksa Spanyol sepenuhnya meninggalkan Maluku pada 1663, didukung juga oleh ancaman Ming terhadap Manila.[90] Salah satu siasat VOC untuk memperkuat kekuasaannya adalah dengan membayar ganti rugi pemusnahan tanaman dalam penerapan hak ekstirpasi secara langsung kepada penguasa setempat. Hal ini menjadi salah satu pemicu Perang Huamual sebelumnya dan secara tidak langsung memperkuat kedudukan para penguasa tersebut.[90][88] Meskipun demikian, ekstirpasi tidak selalu dilakukan oleh pegawai VOC karena dianggap sangat berbahaya. Karenanya, banyak pulau yang sering dilewati dan penyelundupan pun tetap berlanjut dalam jumlah kecil. Rakyat setempat pun tetap dapat mengelabui VOC dengan menanam rempah di pulau-pulau yang tidak diketahui VOC.[91]

Pada abad ke-18, kekuasaan VOC dicirikan oleh campur tangan dalam urusan politik kerajaan-kerajaan Maluku.[91] Meskipun demikian, dukungan VOC dalam bentuk dukungan militer dan keuangan yang diberikan secara khusus kepada para raja secara tidak langsung memperkuat kedudukan dan pengaruh raja dalam kerajaannya sendiri.[90] Campur tangan VOC dilatarbelakangi oleh pecah kongsi antara VOC dan Ternate pada 1680 yang disebabkan oleh dukungan VOC terhadap pengkristenan yang dianggap menyakitkan hati bagi orang-orang Ternate. Hal ini memicu persekutuan erat antara VOC dan Tidore yang berhasil membonekakan Sultan Amsterdam kala itu. VOC juga membantu Tidore dalam meredam pemberontakan.[91] VOC pun tercatat menurunkan Sultan Tidore pada 1779, memicu pemberontakan oleh Pangeran Nuku yang berpusat di Waru, Seram.[92] Monopoli rempah VOC mengalami kemunduran pada akhir abad ke-18. Rempah tidak lagi menjadi barang dagangan yang terpenting, digantikan oleh kopi dan teh.[93] Berbagai usaha penyelundupan juga berhasil dilakukan hingga Prancis berhasil memiliki perkebunan cengkihnya sendiri di Réunion, Mauritius, Cayenne, dan Karibia.[94]

Britania

sunting

Pada 1795, tepatnya saat Kampanye Flandria, Stadtholder Willem V memerintahkan para gubernur untuk menyerahkan wilayah-wilayah pendudukannya kepada Britania ketika melarikan diri dari tentara Napoleon. Karena itu, setahun kemudian, Britania mengambil alih Ambon[c] dan Banda.[95] Perdagangan di Kepulauan Aru yang awalnya dikuasai oleh VOC pun berakhir dikuasai oleh pedagang Bugis dan Makassar.[81]

Perang Dunia II

sunting

Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jenderal Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh, melalui radio, menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang.

Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri. Dan untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di negeri negeri Tawiri (tidak jauh dari Bandara Pattimura).

Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku dinyatakan sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia. Namun pembentukan dan kedudukan Provinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan kolonial di Maluku. Belanda terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini, bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 dengan mensponsori terbentuknya Republik Maluku Selatan (RMS).

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Gudang dan pos dagang sementara (loji).
  2. ^ Benteng dan pos dagang sementara.
  3. ^ a b c Istilah Ambon dapat merujuk pada Pulau Ambon, Kepulauan Ambon yang meliputi Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusalaut),[34] atau kawasan Maluku Tengah yang meliputi Kepulauan Ambon-Lease, Seram, dan Buru dengan pengecualian Kepulauan Banda.[35]
  4. ^ Karl V juga merupakan Raja Spanyol, Adipati Utama Austria, dan Tuan Belanda.
  5. ^ Tabarija dibaptis menjadi Katolik pada 1536 ketika ditahan di Goa. Manuel merupakan nama Kristennya, sedangkan Dom merupakan gelarnya.[52]
  6. ^ Panggilan rakyat Maluku untuk António Galvão, berarti bapak (negara).[56]
  7. ^ Dalam peranan selanjutnya, VOC akan bertindak seperti negara. VOC diizinkan mendirikan benteng, mengangkat gubernur, memiliki tentara, dan membuat perjanjian dengan penguasa asing di Asia atas nama Republik Belanda.[74] VOC memiliki semacam kedaulatannya sendiri. Dengannya, VOC dapat mengadministrasi wilayah taklukannya sesuka hatinya.[34]
  8. ^ Sebagai dampaknya, hingga kini, penduduk asli Banda hampir punah.[83]
  9. ^ Di bawah hak ekstirpasi, ganti rugi pemusnahan tanaman rakyat Huamual dibayar langsung kepada Sultan Ternate.[87]

Daftar rujukan

sunting
  1. ^ Suwondo 1977, hlm. 5–6.
  2. ^ Suwondo 1977, hlm. 6–7.
  3. ^ a b Suwondo 1977, hlm. 7.
  4. ^ Suwondo 1977, hlm. 8.
  5. ^ a b c Suwondo 1977, hlm. 9.
  6. ^ Jatmiko & Mujabuddawat 2016, hlm. 73.
  7. ^ Jatmiko & Mujabuddawat 2016, hlm. 75–76.
  8. ^ Jatmiko & Mujabuddawat 2016, hlm. 76.
  9. ^ Mansyur 2007, hlm. 60, 62–63.
  10. ^ Suwondo 1977, hlm. 17.
  11. ^ Wattimena 2014, hlm. 48.
  12. ^ a b Suwondo 1977, hlm. 11.
  13. ^ a b Ririmasse 2015, hlm. 83.
  14. ^ Suwondo 1977, hlm. 10–11.
  15. ^ Suwondo 1977, hlm. 11–12.
  16. ^ Suwondo 1977, hlm. 14.
  17. ^ Suwondo 1977, hlm. 16.
  18. ^ Suwondo 1977, hlm. 39.
  19. ^ Suwondo 1977, hlm. 13.
  20. ^ Mansyur 2007, hlm. 12–13.
  21. ^ Suwondo 1977, hlm. 12.
  22. ^ Suwondo 1977, hlm. 22–23.
  23. ^ Suwondo 1977, hlm. 24.
  24. ^ Suwondo 1977, hlm. 25.
  25. ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 4.
  26. ^ Soekmono 1981, hlm. 49.
  27. ^ Galvão 1601, hlm. 118–119.
  28. ^ Bartels 2017b, hlm. 539.
  29. ^ Abdurachman 2008, hlm. 214.
  30. ^ a b Leonardo de Argensola 1708, hlm. 5.
  31. ^ Abdurachman 2008, hlm. 3.
  32. ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 6–7.
  33. ^ Abdurachman 2008, hlm. 3, 9.
  34. ^ a b Widjojo 2009, hlm. 19.
  35. ^ Bartels 2017a, hlm. 388.
  36. ^ Abdurachman 2008, hlm. 4, 127.
  37. ^ Abdurachman 2008, hlm. 127.
  38. ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 11.
  39. ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 12.
  40. ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 13–14.
  41. ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 14.
  42. ^ Brown 2004, hlm. 178.
  43. ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 30–32.
  44. ^ Vogel 1877, hlm. 132–133.
  45. ^ a b Soekmono 1981, hlm. 50.
  46. ^ Abdurachman 2008, hlm. 6.
  47. ^ Abdurachman 2008, hlm. 129.
  48. ^ Abdurachman 2008, hlm. 7.
  49. ^ Abdurachman 2008, hlm. 7–8.
  50. ^ Vogel 1877, hlm. 133.
  51. ^ Abdurachman 2008, hlm. 8.
  52. ^ Abdurachman 2008, hlm. 9.
  53. ^ a b Abdurachman 2008, hlm. 10–11, 238.
  54. ^ Abdurachman 2008, hlm. 8, 128.
  55. ^ Abdurachman 2008, hlm. 8–9, 129.
  56. ^ a b Galvão 1601, hlm. ii.
  57. ^ Abdurachman 2008, hlm. 9, 130.
  58. ^ Abdurachman 2008, hlm. 130.
  59. ^ "Benteng Victoria". Pemkot Ambon. Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian Kota Ambon. Diakses tanggal 2 Mei 2020. 
  60. ^ Abdurachman 2008, hlm. 5.
  61. ^ Abdurachman 2008, hlm. 239.
  62. ^ Abdurachman 2008, hlm. 15.
  63. ^ Abdurachman 2008, hlm. 12–14.
  64. ^ Abdurachman 2008, hlm. 17.
  65. ^ "Sejarah Ambon". Pemkot Ambon. Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian Kota Ambon. Diakses tanggal 12 April 2020. 
  66. ^ Abdurachman 2008, hlm. 99.
  67. ^ a b Brown 2004, hlm. 179.
  68. ^ Drake & Fletcher 1854, hlm. 177.
  69. ^ Abdurachman 2008, hlm. 14.
  70. ^ a b Abdurachman 2008, hlm. 240.
  71. ^ Abdurachman 2008, hlm. 99–100.
  72. ^ a b Widjojo 2009, hlm. 11.
  73. ^ Widjojo 2009, hlm. 16.
  74. ^ a b Widjojo 2009, hlm. 14.
  75. ^ Widjojo 2009, hlm. 13.
  76. ^ Ricklefs 2008, hlm. 54–55.
  77. ^ Widjojo 2009, hlm. 11, 19.
  78. ^ Ricklefs 2008, hlm. 54, 58.
  79. ^ a b Widjojo 2009, hlm. 1.
  80. ^ Widjojo 2009, hlm. 27.
  81. ^ a b c Ricklefs 2008, hlm. 304.
  82. ^ a b c Ricklefs 2008, hlm. 56.
  83. ^ Widjojo 2009, hlm. 18.
  84. ^ Ricklefs 2008, hlm. 57.
  85. ^ a b c Widjojo 2009, hlm. 20.
  86. ^ Bartels 2017b, hlm. 608.
  87. ^ a b c Widjojo 2009, hlm. 21.
  88. ^ a b Widjojo 2009, hlm. 20–21.
  89. ^ Ricklefs 2008, hlm. 127.
  90. ^ a b c Ricklefs 2008, hlm. 128.
  91. ^ a b c Ricklefs 2008, hlm. 129.
  92. ^ Widjojo 2009, hlm. 3.
  93. ^ Ricklefs 2008, hlm. 136.
  94. ^ Bartels 2017b, hlm. 620.
  95. ^ Ricklefs 2008, hlm. 131.

Daftar pustaka

sunting