(Translated by https://www.hiragana.jp/)
Kesultanan Melaka - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Lompat ke isi

Kesultanan Melaka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Melayu Melaka
كسلطانن ملايو ملاك

1400–1511
Lokasi Kesultanan Melaka
Ibu kotaMelaka
Bahasa yang umum digunakanMelayu klasik
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sultan 
• 1402-1414
Parameswara(Pertama)
• 1513-1528
Mahmud Syah(Terahkir)
Sejarah 
• Didirikan
1400
1511
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Singapura
krjKerajaan
Sriwijaya
Melaka Portugal
kslKesultanan
Pahang
Sultan Perak
kslKesultanan
Johor
Sekarang bagian dari Malaysia
 Indonesia
 Singapura
 Thailand
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Replika istana Kesultanan Malaka, dibangun kembali berdasarkan informasi dari Sulalatus Salatin

Kesultanan Melaka atau Kesultanan Malaka adalah sebuah kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Melaka, Malaysia. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara imbas perang Jawa dengan Siam di daerah tersebut, kemudian mencapai puncak kejayaan pada abad ke-15 dengan menguasai jalur pelayaran Selat Melaka, sebelum ditaklukan oleh Portugis pada 1511. Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan Nusantara.

Pada awalnya Melaka bukanlah sebuah Kerajaan beragama Islam. Hal ini berubah ketika Parameswara menikah dengan Putri Sultan Zainal Abidin Malikuzzahir dari Samudera Pasai dan masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Sultan Iskandar Syah [1].

Keadaan Islam Parameswara diceritakan dalam tulisan Laksamana Cheng Ho yang pernah berkunjung ke Melaka pada tahun 1409. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan ia sebagai raja dan rakyat Melaka sudah beragama Islam.

Dengan masuk dan berkembangnya Islam di Kesultanan Melaka merupakan cikal bakal berkembangnya agama Islam di kawasan Nusantara, hal ini karena Kesultanan Melaka merupakan aspek penting dalam kehidupan masyarakat di Nusantara. Karena dari kawasan Melaka pemakaian bahasa dan penyebaran kebudayaan Melayu Islam tersebar dihampir keseluruh kawasan Nusantara. Apa yang kita gunakan sebagai alat komunikasi di Nusantara saat ini merupakan hasil yang positif dari keagungan Melaka sebagai jantung kebudayaan Melayu Islam di Nusantara [1].

Pendirian

[sunting | sunting sumber]

Setelah dilakukan penelitian sejarah, baik dari buku Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, buku Hikayat Raja-raja Pasai karya Syekh Nuruddin Raniri, buku Riwayat Negeri Malaka dalam bahasa Portugis karya Barros pada tahun 1553, catatan orang Tionghoa, juga dengan Babad Tanah Jawa Pararaton (raja-raja), dapat diambil kesimpulan bahwa pada permulaan abad ke-14, daerah Tanjung Medini masih perang antara dua kekuatan.[2] Di sana belum ada kerajaan. Akan tetapi, di tanah Jawa, telah muncul kerajaan multikultural Majapahit yang menjadi lawan kuat Siam dalam memperebutkan kekuasaan di Selat Malaka, terutama pada tahun 1331, ketikaGajah Mada mendapat kepercayaan tinggi dari Batara Majapahit. Setelah Gajah Mada naik, digariskanlah politik yang tegas, yaitu memperluas kekuasaannya dan merebut sebuah tanjung yang sering terjadi perang antara penduduk setempat dengan negeri Siam. Majapahit pun menyerang Palembang, Singapura, Brunei, Pasai, sebagian Tembeling, dan kemungkinan juga termasuk Luzon. Padahal, di Singapura saat itu masih berdiri sebuah kerajaan independen.

Dengan jatuhnya kerajaan Melayu Hindu di Singapura karena serangan Majapahit, raja Singapura berangkat melarikan diri dari Singapura. Raja tersebut bernama Permaisura.[2] Mula-mula, bersembunyilah ia ke sebuah kampung di sebelah utara Pulau Singapura. Dari sana, ia menyeberang ke Semenanjung Melayu melalui Johor. Kemudian, terus ke negeri Muar. Dari Muar, diteruskannya perjalanan ke Sungai Ujung, hingga akhirnya ia sampai di Malaka.

Saat itu, ia mendapati penduduk Malaka sudah mulai ramai, baik dari orang Melayu, Arab, Cina, Romawi, Siam, dan lainnya. Kemudian, Sidi Abdul Aziz, seorang ulama yang berasal dari Jeddah, datang ke Malaka, mengajak ia untuk masuk Islam. Ajakan itu diterima. Sidi Abdul Aziz menganjurkan kepada ia untuk mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Ia memeluk Islam sekitar tahun 1384.[2] Sejak itu, ia resmi menjadi sultan negeri Malaka.

Sementara itu, berdasarkan Sulalatus Salatin dan Suma Oriental Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara seorang pangeran yang berasal dari palembang yang melarikan diri karena invasi angkatan laut Majapahit dan Ayutthaya meskipun tidak terucap Ayutthaya. Kronik Dinasti Ming juga mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka[3] mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas daerag kedaulatannya.[4] Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Tiongkok menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka,[5] kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan Malaka mengunjungi Kaisar Tiongkok.[6] Pengaruh yang besar dari relasi ini adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan adanya berbagai serangan terutama Jawa dan Siam, apalagi setelah Kaisar Tiongkok mengabarkan penguasa Ayutthaya akan rencananya terhadap daerah tanjung tersebut.[7] Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming.[8][9]

Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam telah mulai dianut oleh masyarakat Malaka,[7] sementara berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka mulai mengunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa sejarahwan.[8] Sementara dalam Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang.

Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah,[5] memerintah selama 10 tahun, kemudian menganut agama Islam[10] dan digantikan oleh Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.

Hubungan dengan kekuatan regional

[sunting | sunting sumber]

Dengan sangat hati-hati Sultan Muhammad Syah mengendalikan politik luar negerinya. Gangguan dari Majapahit tidak begitu ditakutinya lagi, karena Gajah Mada telah meninggal pada 1364 dan Prabu Hayam Wuruk pun telah meninggal pada 1389. Majapahit pada saat itu hanya menguasai daerahnya di Jawa saja. Kerajaan tetangga yang paling dekat ialah Siam. Dengan Siam, dijagalah politik bertetangga dengan baik. Malaka membayar upeti 40 tahil emas setahun.[2] Sementara itu, Kerajaan yang amat diseganinya ketika itu ialah Tiongkok. Sebab, hubungan Tiongkok dengan tanah-tanah Melayu sudah lama adanya.

Pada awal tahun 1403, terjadi pergeseran kekuasan di Tiongkok dalam keluarga Dinasti Ming. Maharaja Cheng Tsu merebut kekuasaan dari Maharaja Hwui Ti. Sultan Muhammad Syah memperhitungkan bahwa raja yang baru naik pasti akan menang, jika hubungan dengan negeri-negeri selatan diperkukuh. Dengan tidak ragu lagi, Sultan mengirim utusan ke Tiongkok untuk menghadap raja yang baru menang itu, untuk mengikat tali persahabatan. Karena hubungannya dengan Tiongkok telah kuat, Sultan mulai menghentikan pengiriman upetinya ke Siam. Dengan itu, Maharaja Tiongkok memberikan pengakuan, bahwa Malaka diakui oleh Tiongkok di bawah perlindungannya, kalau ada serangan dari luar.[2]

Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan melaka mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka yang sebelumnya sering diganggu oleh adanya kawanan perompak dan bajak laut.[7] Di bawah perlindungan Ming, Malaka berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir barat Semenanjung Malaya yang tidak dapat disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya. Namun seiring berubahnya kebijakan luar negeri Dinasti Ming, Kawasan ujung tanah ini terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari kedaulatannya sampai Malaka jatuh ke tangan Melaka, dan setelah takluknya Malaka, kawasan Perlis, Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian berada dalam kekuasaan Siam.[9]

Sulalatus Salatin juga mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan Pasai, hubungan kekerabatan ini dipererat dengan adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan Raja Malaka dan kemudian Sultan Malaka pada masa berikutnya juga turut memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai. juru tulis menyebutkan adanya kemiripan adat istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua kawasan tersebut telah menjadi tempat permukiman komunitas muslim di Selat Malaka.[7] Sementara kemungkinan ada ancaman dari Jawa dapat dihindari, terutama setelah Sultan Mansur Syah membina hubungan diplomatik dengan Batara Majapahit yang kemudian meminang dan menikahi putri Raja Jawa tersebut.[11] Selain itu sekitar tahun 1475 di Jawa juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan hegemoni Majapahit atas kawasan yang mereka klaim sebelumnya sebagai daerah bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat setelah jatuhnya Malaka kepada Portugal, tercatat ada beberapa kali pasukan Demak mencoba merebut kembali Malaka dari tangan Portugal.[10][12]

Masa kejayaan

[sunting | sunting sumber]
Penggambaran modern Kesultanan Melaka
Rekonstruksi pelabuhan Melaka setelah pendiriannya, dari Museum Maritim Melaka.
Kesultanan Melaka pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Shah (1477–1488) karya Maembong Ayoh

Pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pesisir timur pantai Sumatra, setelah sebelumnya berhasil mengusir serangan Siam.[11] Di mulai dengan menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan yang tidak menjadi muslim dengan baik.[10] Penaklukan Malaka atas kawasan sekitarnya ditopang oleh kekuatan armada laut yang kuat pada masa tersebut serta kemampuan mengendalikan Orang Laut yang tersebar antara kawasan pesisir timur Pulau Sumatra sampai Laut Tiongkok Selatan. Orang laut ini berperan mengarahkan setiap kapal yang melalui Selat Malaka untuk singgah di Malaka serta menjamin keselamatan kapal-kapal itu sepanjang jalur pelayarannya setelah membayar cukai di Malaka.[13]

Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal.[14] Di bawah sultan yang sama Kampar Pekan Tua, dan Siak Gasib juga takluk.[14] Sementara kawasan Inderagiri dan Jambi adalah hadiah dari Batara Majapahit untuk Raja Malaka.[14] Sultan Mansur Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah namun memerintah tidak begitu lama karena diduga ia diracun sampai meninggal[15] dan kemudian digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.[11]

Hingga akhir abad ke-15 Malaka telah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan dari beberapa hasil bumi seperti emas, timah, lada dan kapur. Malaka muncul sebagai kekuatan utama dalam penguasaan jalur Selat Malaka, termasuk mengendalikan kedua pesisir yang mengapit selat itu.[15]

Penurunan

[sunting | sunting sumber]

Sultan Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugal di bawah pimpinan Pewaris Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan pada 24 Agustus 1511 Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahan baru.[16] Perlawanan terhadap penaklukan Portugal berlanjut, pada bulan Januari 1513 Pati Unus dengan pasukan dari Demak berkekuatan 100 kapal dan 5000 tentara mencoba menyerang Malaka, tetapi serangan ini berhasil dikalahkan oleh Portugal.[12] Selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Malaka, Portugal menyisir dan menundukkan kawasan antara Selat Malaka. Pada bulan Juli 1514, de Albuquerque berhasil menundukkan Kampar, dan Raja Kampar menyatakan kesediaan dirinya sebagai vazal dari Portugal di Malaka.[16]

Sejak tahun 1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali bangkit dan terus melakukan perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugal di Malaka. Namun usaha Sultan Malaka merebut kembali Malaka dari Portugal gagal. Di sisi lain Portugal juga terus memperkukuh penguasaannya atas jalur pelayaran di Selat Malaka. Pada pertengahan tahun 1521, Portugal menyerang Pasai, sekaligus meruntuhkan kerajaan yang juga merupakan sekutu dari Sultan Malaka.

Selanjutnya pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal di bawah pimpinan de Albuquerque mencoba menyerang Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka, tetapi serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud Syah. Namun dalam serangan berikutnya pada 23 Oktober 1526 Portugal berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Malaka kemudian melarikan diri ke Kampar Pekan Tua, tempat dia wafat dua tahun kemudian.[16] Berdasarkan Sulalatus Salatin Sultan Mahmud Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum menetap di Johor.[13] Kemudian pada masa berikutnya para pewaris Sultan Malaka setelah Sultan Mahmud Syah lebih dikenal disebut dengan Sultan Johor.

Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Walaupun Kesultanan Malaka sangat kuat dipengaruhi oleh agama Islam namun dalam menjalankan pemerintahan, kerajaan ini tidak menerapkan pemerintahan Islam sepenuhnya. Undang-undang yang berlaku di Malaka seperti Hukum Kanun Malaka hanya 40,9% mengikut aturan Islam. Begitu juga Undang-undang Laut Malaka hanya 1 pasal dari 25 pasal yang mengikut aturan Islam.[15]

Kesultanan Malaka dalam urusan kenegaraan telah memiliki susunan tata pemerintahan yang rapi. Sultan Malaka memiliki kekuasaan yang absolut, seluruh peraturan dan undang-undang merujuk kepada Raja Malaka. Sementara dalam administrasi pemerintahan Sultan Malaka dibantu oleh beberapa pembesar, antaranya Bendahara, Tumenggung, Penghulu Bendahari dan Syahbandar. Kemudian terdapat lagi beberapa menteri yang bertanggungjawab atas beberapa urusan negara.[17] Selain itu terdapat jabatan Laksamana yang pada awalnya diberikan kepada kelompok masyarakat Orang Laut.[13]

Daftar raja Malaka

[sunting | sunting sumber]

Berikut daftar raja Malaka[8]

Periode Nama Raja Catatan dan peristiwa penting
1402-1414 Parameswara
Sultan Iskandar Syah
Raja kelima Singapura sebelum bubar
dan mendirikan Kesultanan Melayu Melaka
1414-1424 Megat Iskandar Syah

Raja Ahmad, Raja Kecil Besar

1424-1444 Muhammad Syah
Raden Tengah
1444-1446 Sri Parameswara Dewa Syah
Sultan Abu Syahid Syah
Dibunuh karena konflik internal
dengan Bendahara Tun Ali,
Mudzaffar Syah/Raja Kasim,
Tun Pepatih Sedang,
dan Datuk Bendahara Seri Amar Diraja
1446-1459 Mudzaffar Syah
Raja Kasim
1459-1477 Mansur Syah
Raja Abdullah
1477-1488 Ala'uddin Riayat Syah
Raja Hussein
Diduga diracun
oleh Raja Ahmad,
Bendahara Seri Maharaja,
dan Tun Senaja
1488-1511 Mahmud Syah Diserang Portugis
1511-1513 Ahmad Syah Dibunuh Mahmud Syah karena inkompeten
1513-1528 Sultan Mahmud Syah Klaim tahta Kerajaan Melaka.
Kemudian mengungsi
dan meninggal di Kampar Pekan Tua

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu (1976) "Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu" Seminar Kebudayaan Islam Dan Kebudayaan Melayu. UKM.
  2. ^ a b c d e Prof. Dr. Hamka (2016) "Sejarah Umat Islam" Jakarta : Gema Insani
  3. ^ Suryaningrat, Rizal F. Aji, Wisnu M. (2011). "Dinamika perdagangan Bandar Malaka dari masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah hingga masa pemerintahan Portugis (1456-1641) = Dynamincs trading of Bandar Malacca from Sultan Mansyur Syah periode until Portuguese periode (1456-1641)". Universitas Indonesia Library (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-14. 
  4. ^ Gungwu, Wang (2003). Only connect!: Sino-Malay encounters. Eastern Universities Press. ISBN 981-210-243-4. 
  5. ^ a b Hooker, Virginia M. (2003). A Short History of Malaysia: linking east and west. Allen & Unwin. ISBN 1-86448-955-3. 
  6. ^ Cleary, Mark (2000). Environment and development in the Straits of Malacca. Routledge. ISBN 0-415-17243-8. 
  7. ^ a b c d Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-361-4
  8. ^ a b c Institute of Southeast Asian Studies, (2005), Admiral Zheng He & Southeast Asia, ISBN 981-230-329-4.
  9. ^ a b Wink, André (2004). Indo-Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL. ISBN 90-04-13561-8. 
  10. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  11. ^ a b c Raffles, T.S., (1821), Malay annals (translated from the Malay language, by the late Dr. John Leyden).
  12. ^ a b Ricklefs, Merle C. (2001). A history of modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press. ISBN 0-8047-4480-7. 
  13. ^ a b c Andaya, Leonard Y. (2008). Leaves of the same tree: trade and ethnicity in the Straits of Melaka. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-3189-6. 
  14. ^ a b c Samad, A. A., (1979), Sulalatus Salatin, Dewan Bahasa dan Pustaka
  15. ^ a b c Halimi, A.J., (2008), Sejarah dan tamadun bangsa Melayu, Utusan Publications, ISBN 978-967-61-2155-4.
  16. ^ a b c Winstedt, Richard (1962). A History of Malaya. Marican. 
  17. ^ Nijhoff, M., (1976), Undang-undang Melaka.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]