Pura Taman Ayun
Pura Taman Ayun | |
---|---|
Informasi umum | |
Gaya arsitektur | Candi Hindu |
Alamat | Mengwi, Kabupaten Badung, Bali |
Negara | Indonesia |
Mulai dibangun | 1632 |
Rampung | 1634 |
Desain dan konstruksi | |
Arsitek | Tan Hu Cin Jin |
Nama resmi | Lanskap kultur Provinsi Bali: Sistem subak sebagai perwujudan dari filosofi Tri Hita Karana |
Jenis | Budaya |
Kriteria | ii, iii, v, vi |
Ditetapkan | 2012 (sesi ke- 36) |
No. referensi | 1194 |
Negara | Indonesia |
Kawasan | Asia-Pasifik |
Pura Taman Ayun merupakan Pura Paibon/Pedarman Raja Mengwi untuk memuja roh leluhur dari raja-raja yang diwujudkan dengan dibangunnya sebuah gedong Paibon, serta dibangun pula meru-meru untuk pemujaan dan persembahyangan kepada para Dewa bagi masyarakat kerajaan Mengwi dalam memohon kesejahteraan. Pura Taman Ayun berlokasi di Kecamatan Mengwi, Badung, Bali, Indonesia. Taman ini beserta Pura Taman Ayun merupakan peninggalan bersejarah dari kerajaan Mengwi.
Pada tahun 2012 Unesco menetapkan Pura Taman Ayun sebagai bagian dari situs warisan budaya dunia. Situs bertajuk resmi Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai sebuah manifestasi filosofi Tri Hita Karana (Cultural landscape of Bali Province: the subak system as a manifestation of the Tri Hita Karana[1]). Meliputi Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, kawasan Catur Angga Batukaru dan situs Pura Taman Ayun.[2]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Pura Taman Ayun dibangun pada abad ke-17 tepatnya dimulai tahun 1632. Dan selesai pada tahun 1634 oleh raja Kerajaan Mengwi yang pada saat itu mempunyai nama lain kerajaan "Mangapura", "Mangarajia", dan "Kawiyapura", yaitu I Gusti Agung Putu raja kerajaan Mengwi saat itu.[3]
Dalam pembangunan Pura Taman Ayun, ia dibantu oleh arsitek yang berasal dari seorang keturunan Tiongkok dari Banyuwangi yang bernama Ing Khang Ghoew juga sering disebut I Kaco rekan dari Raja Mengwi.
Pura Taman Ayun merupakan Pura Keluarga bagi Kerajaan Mengwi. Awalnya, pura ini didirikan karena pura-pura yang ada pada zaman itu jaraknya terlalu jauh untuk dijangkau oleh masyarakat Mengwi. Maka dari itu, Sang Raja mendirikan sebuah tempat pemujaan dengan beberapa bangunan sebagai penyawangan (simbol) dari 9 pura utama yang ada di Bali, seperti Pura Besakih, Pura Ulundanu, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan pura utama lainnya yang ada di Bali.
Komplek Pura
[sunting | sunting sumber]Kompleks Pura dibagi menjadi 4 halaman yang berbeda, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Halaman Pertama disebut dengan Jaba yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya jembatan kolam dan Pintu gerbang. Begitu masuk di sana ada tugu kecil untuk menjaga pintu masuk dan di sebelah kanannya terdapat bangunan luas (wantilan) dimana sering diadakan sabungan ayam saat ada upacara. Di halaman ini, juga terdapat tugu air mancur yang mengarah ke 9 arah mata angin.
Sambil menuju ke halaman berikutnya, di sebelah kanan jalan terdapat sebuah komplek pura kecil dengan nama Pura Luhuring Purnama. Area ke tiga atau Halaman ke dua, posisinya lebih tinggi dari halaman pertama. Untuk masuk ke halaman ini, pengunjung harus melewati pintu gerbang kedua. Begitu masuk, pandangan akan tertuju pada sebuah bangunan aling-aling Bale Pengubengan yang dihiasi dengan relief menggambarkan Dewata Nawa Sanga (9 Dewa penjaga arah mata angin).
Di sebelah timur halaman ini ada satu pura kecil disebut Pura Dalem Bekak, sedangkan di pojok sebelah barat terdapat sebuah Balai Kulkul menjulang tinggi. Area ke empat atau halaman terakhir adalah yang tertinggi dan yang paling suci. Pintu gelung yang paling tengah akan dibuka di saat ada upacara, tempat ke luar masuknya arca dan peralatan upacara lainnya.
Sedangkan gerbang yang di kiri kanannya adalah untuk keluar masuk kegiatan sehari-hari di pura tersebut. Di halaman ini terdapat beberapa meru menjulang tinggi dengan berbagai ukuran dan bentuk. Tiga halaman dari Pura ini melambangkan tiga tingkat kosmologi dunia, dari yg paling bawah adalah tempat/dunianya manusia, ke tingkat yang lebih suci yaitu tempat bersemayamnya para dewata, serta yang terakhir melambangkan Sorga tempat berstananya Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti dikisahkan dalam cerita kuno Adhiparwa, keseluruhan kompleks pura menggambarkan Gunung Mahameru yang mengapung di tengah lautan susu.[4]
Henk Schulte Nordholt menulis di bukunya yang berujudul Negara Mengwi bahwa Taman Ayun direnovasi pada tahun 1750. Nama arsitek yang bertanggung jawab ditulis sebagai Hobin Ho.[5] Taman Pura ini muncul dalam acara televisi Around the World in 80 Gardens.
Galeri
[sunting | sunting sumber]-
Ruang utama.
-
Pura Garuda.
-
Meru, pura berbentuk pagoda.
-
Paviliun sabung ayam.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Centre, UNESCO World Heritage. "Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy". whc.unesco.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ "Plakat UNESCO, Pengakuan Subak sebagai Warisan Dunia 2012". National Geographic Indonesia. 2012-09-25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-11. Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia / National Library of. "Pura Taman Ayun (Bali) - Kepustakaan Candi". candi.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ "Babad Bali - Pura Taman Ayun". www.babadbali.com. Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ Indrana Tjahjono dan Mas Soepranoto. 2010. Kongco Tan Hu Cin Jin. Banyuwangi, hal. 12.
[whc.unesco.org/en/list/1194] http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/09/plakat-unesco-pengakuan-subak-sebagai-warisan-dunia-2012 Diarsipkan 2017-05-11 di Wayback Machine. [1] [2]