Sejarah Kabupaten Rejang Lebong
Sejarah Rejang Lebong pada masa kolonialisme bermula ketika Inggris dan Belanda mulai menjajah Kota Bengkulu. Masyarakat Rejang yang mendiami daerah pedalaman atau pegunungan di Kabupaten Rejang Lebong tidak pernah mengalami penjajahan karena faktor geografis. Kabupeten Rejang Lebong dulunya adalah gabungan dari Provinsi Sumatera Selatan. Pusat perkotaan Rejang Lebong dahulunya terletak di Kepahiang, sedangkan Curup sendiri masih berbentuk pasar atau pekan Curup dan belum bisa di katakan kota. Setelah Kesultanan Palembang jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1 Juli 1821 tidak membuat wilayah Depati Tiang Empat tunduk terhadap Belanda. Hal tersebut karena adanya perlawanan dari rakyat, salah satunya ketika rakyat menghadang Kapten De Leau berkunjung ke pos Belanda di Keban.[1]
Pada tahun 1838, pasukan militer Belanda dikirim ke wilayah Rejang untuk menuntut kematian Asisten Residen Bogearl. Hal ini menyebabkan perlawanan dari rakyat, sehingga pada tahun 1856 diadakan perundingan dengan Depat Tiang Empat di Kepahiang. Hasil perundingan menyatakan Depati Tiang Empat akan tunduk kepada Belanda dengan syarat adat dan pustaka tidak boleh dirusak dan diganggu oleh Belanda. Rejang Lebong dimasukan kedalam Karesidenan Palembang. Dengan adanya perundingan ini, wilayah Rejang Lebong menjadi berada di bawah pemerintahan Belanda tahun 1859-1942.[2]
Setelah perjanjian itu telah disepakati bersama, dengan sahnya wilayah Rejang Lebong dibawah pemerintahan Belanda. Belanda menguras kekayaan alam yang ada, salah satunya hasil bumi seperti rempah-rempah dan bahkan Belanda membuka tambang emas yang ada di Lebong, hasil ini di bawah ke negara Belanda bahkan di jual ke negara-negara Eropa. Sehingga tahun 1942 setelah pecah perang pasifik dan Hindia Belanda terlibat didalamnya, membuat Belanda harus berhenti menjajah di Rejang Lebong dan diambil alih oleh Jepang. Berbagai upaya yang dilakukan pemimpin dan tentara untuk melespaskan kesengsaraan rakyat Curup dari penjajahan Jepang.
Berbagai upaya yang dilakukan pemimpin dan tentara untuk melespaskan kesengsaraan rakyat Curup dari penjajahan Jepang.[3] Namun, masyarakat Rejang Lebong kalah persenjataan, akhirnya Jepang dapat memasuki Tabarenah. Dengan keadaan yang sulit para pemuda tetap saja melakukan persiapan untuk melakukan perlawanan, Bertepatan pada tanggal 2 Januari 1946 dinyatakan maklumat perdamaian yang ditandatangani oleh Residen Ir. Indra Caya, Butaityo Inomia, dan kepala pemerintahan Negeri Kepahiang, M. Amin. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, peristiwa-peristiwa lain juga terjadi seperti terlihat ketika pasukan Belanda mencoba merebut kembali wilayah jajahanya pada tahun 1948-1949 salah satunya Rejang Lebong.
Dari perristiwa sejarah tersebut, dibuatlah sebuah monumen perjuangan Tabarena yang terletak di Kecamatan Bermani Uluu, Kabupaten Rejang Lebong. monumen ini merupakan tonggak sejarah perjuangan masyarakat Rejang Lebong melawan penjajah. Selain monumen ini juga terdapat taman makam pahlawan dan jembatan Tabarenah. Jembatan Tabarenah sempat dibom dinamit oleh pejuang, dengan tujuan menghalau tentara Jepang agar tidak bisa masuk ke Tabarenah.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Sidik, Abdullah (1996). Sejarah Bengkulu 1500-1990. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 104. ISBN 979-407-907-3.
- ^ Peneliti, Tim (1983). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperalisme Dan Kolonilisme di Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Budaya. hlm. 53.
- ^ Peneliti, Tim (1983). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperalisme Dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Budaya. hlm. 53.