15 Tahun lagi
15 tahun lagi ia tak akan di kamar ini.
Seperti warna biru pada gordin
yang dihisap
matahari
Tapi ia mungkin akan bisa menyisakan
merah meja
dengan bekas nikotin
pada amplop terakhir
jam yang bersembunyi
dari Tuhan
yang tak membuat
ia yakin.
Salahkah ia,
yang tak begitu percaya
pada salam, atau sekadar suara
di atap kamar itu,
kalimat pelan-pelan
yang akhirnya
hanya hujan?
Mungkin hujan?
Apa yang diharapkannya?
Tentu bukan hujan!
Ia hanya tak ingin terpisah
dari nyanyi murung
sebuah lagu Brazil,
pada cello
yang setengah serak
yang terapung-apung, sentimentil,
di luar, pada pucuk pohon
dan gerak awal
sejumlah mendung:
Sem voce, sem voce.
Mungkin ia kangen, sebenarnya,
tapi “aku malu”, katanya, pesimistis
pada telegram
yang mungkin mengetuk
dari luar itu, dari gerimis
yang berkata: 15 tahun lagi
akan ada seseorang
di kamar ini.