(Translated by https://www.hiragana.jp/)
Pengepungan Almería (1309) - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Lompat ke isi

Pengepungan Almería (1309)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pengepungan Almería adalah sebuah usaha pengepungan yang gagal dari Takhta Aragon untuk menguasai kota Almería dari Keamiran Granada pada tahun 1309. Penduduk Almería berhasil mempertahankan kota dari serangkaian serangan. Pada akhir Desember, Chaime II dari Aragon, yang secara pribadi memimpin pengepungan, meminta gencatan senjata sebelum kemudian menarik diri dari wilayah Granada.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]
Spanyol dan Afrika Utara bagian Barat pada tahun 1360 (sekitar 50 tahun setelah pengepungan). Perbatasan mungkin telah sedikit berubah, tapi wilayah utama Kastila, Aragon, Granada dan Banu Marin tetap sama.

Muhammad III dari Granada berdamai dengan Kastila melalui perjanjian Córdoba pada tahun 1303 dan menjadi vasal dari Ferdinand IV dari Kastila. Pada Perjanjian Torellas setahun kemudian, Takhta Aragon berdamai dengan Kastila, termasuk pula Granada yang kini menjadi bawahan Kastila.[1] Setelah perdamaian dengan kekuatan utama Spanyol tercapai, Granada mengalihkan perhatian ke Afrika Utara. Mengambil keuntungan dari perang antara Banu Marin dan Kerajaan Tlemcen, Muhammad menghasut orang-orang Ceuta—kota pelabuhan di seberang Selat Gibraltar—untuk memberontak kepada Banu Marin pada 1304. Namun pada 1306, dia mengirim armada untuk menguasai kota tersebut dari para pemberontak ini.[2]

Dengan Ceuta di tangan, Granada sekarang mengendalikan kedua sisi selat—sebelumnya mereka telah menguasai pelabuhan Gibraltar dan Algeciras di sisi Eropa.[3] Perkembangan ini membuat resah Aragon dan Kastila, yang mulai membuat rencana untuk melawan Granada.[3] Keduanya menandatangani Perjanjian Alcala de Henares pada tanggal 19 Desember 1308, bersekutu untuk menaklukkan Granada dan membagi wilayah-wilayahnya di antara mereka.[3] Aragon dijanjikan seperenam dari wilayah Granada, termasuk kota pelabuhan Almería, dan sisanya akan diambil alih oleh Kastila.[3] Selain itu, kedua kekuatan Kristen ini juga membuat aliansi dengan Abu al-Rabi Sulaiman, yang menjadi Sultan dari Banu Marin pada bulan Juli 1308 dan ingin merebut kembali Ceuta.[3][4] Hasil akhirnya adalah persekutuan tiga pihak antara Kastila, Aragon dan Banu Marin melawan Granada, yang kini terisolasi dan dikelilingi oleh tiga musuh yang lebih besar.[4]

Persiapan

[sunting | sunting sumber]
Chaime II dari Aragon (kanan) dalam sebuah miniatur dari awal abad ke-14

Untuk melawan Granada, Chaime II mempersiapkan tentara dengan rencana total prajurit 12.000, termasuk 1.000 ksatria dan 2.000 pemanah.[5] Dia juga mengumpulkan dana dan memperkuat pertahanan Kerajaan Valencia.[5] Almeria terletak di pantai tenggara Keamiran Granada.[5] Aragon tidak langsung perbatasan dengan Granada, jadi sebagian dari pasukan diangkut melalui laut, sementara yang lain harus mengambil jalan darat, yang jalurnya mencakup wilayah musuh, untuk mencapai Almería.[5]

Kota Almería bersiap melawan pengepungan dengan menimbun makanan, menerapkan pembagian ransum dan memperkuat pertahanan kota.[5][6] Catatan seorang Muslim menekankan pentingnya persediaan makanan, mengatakan bahwa "Salah satu dari tanda-tanda perlindungan Allah kepada penduduk kota adalah besarnya jumlah jelai yang berada di gudang penyimpanan pada awal pengepungan".[6] Gubernur Almería, Abu Maydan Shuayb, dengan bantuan komandan angkatan laut Abu al-Hasan al-Randahi, mengorganisasi perbaikan pertahanan kota.[6] Mereka memperkuat dinding, menutup berbagai celah dan menghancurkan bangunan luar yang berpotensi digunakan oleh para pengepung.[6]

Pengepungan

[sunting | sunting sumber]
Keamiran Granada, termasuk Almeria di pantai tenggara

Chaime II dan pasukannya berlayar dari Valencia pada tanggal 18 Juli 1309 dan mendarat di pantai Almeria pada pertengahan Agustus.[5] Satu catatan Muslim menggambarkan pasukan yang berpakaian megah berwarna-warni, beserta para musisi yang memainkan instrumen militer.[5][7] Pasukan Aragon juga membawa mesin senjata pengepungan seperti mangonel dan trebuset.[5] Pemameran kekuatan ini pada awalnya menurunkan moral tentara Granada, tetapi seiring berjalannya waktu dan berbagai insiden yang terjadi, mereka menjadi lebih optimis.[5][7]

Para pengepung memblokade kota dari darat dan laut, serta membangun parit dan palisade di sekeliling kota.[5] Hanya saja, memulai pengepungan pada akhir musim panas merupakan sebuah kerugian besar.[7] Pasukan pengepung hanya memiliki waktu singkat sebelum cuaca semakin dingin. Jika pengepungan berlangsung hingga musim dingin, hal ini akan menguntungkan pasukan pertahanan yang tidak harus turun berperang di medan terbuka.[7]

Pada 23 Agustus, para pengepung memenangkan pertempuran di medan terbuka.[5] Dalam satu catatan Kristen disebutkan bahwa pasukan Muslim kehilangan 6.000 jiwa, tetapi sejarawan modern Joseph F. O'Callaghan menganggap bahwa angka ini jelas dibesar-besarkan.[5] Setelah mendengar berita pertempuran ini, Paus Klemens V mengucapkan selamat pada Chaime untuk kemenangannya.[5]

Pada akhir Agustus atau awal September, pasukan pembela kota berhasil memukul mundur serangan Aragon.[a] [7][8] Serangan dilakukan dengan menggunakan tangga dan menara kepung yang diisi dengan pasukan dan digerakkan oleh roda.[8][7] Para pembela kota melawan dengan menuangkan minyak mendidih dan bahan mudah terbakar lainnya, memaksa penyerangan dibatalkan.[8] Selama penarikan mundur pasukan, banyak yang tertinggal dan ditangkap oleh tentara Muslim.[7] Setelah kegagalan ini, para pengepung meneruskan menyerang kota dengan peluru-peluru batu, beberapa diantaranya mencapai berat tiga puluh pound, yang diklaim membunuh 22.000 orang penduduk.[8]

Pada 17 September kontingen yang dikirim dari Granada di bawah Utsman bin Abi al-Ula tiba di Marchena (dekat Almería) dan mengalahkan sepasukan kecil Aragon.[8] Kesatuan bantuan ini berkemah di Marchena dan secara berkala mengacaukan pasukan pengepung.[8][7] Karena Almería belum menujukkan tanda-tanda akan takluk, para pengepung berusaha untuk menggunakan tipu muslihat untuk mengelabui lawan.[7] Sekelompok tentara Kristen menyelinap keluar dalam kegelapan, mendekati kota dengan menyamar sebagai Muslim.[7] Satu kelompok kesatria Kristen kemudian berpura-pura mengejar dan meninggalkan tenda-tenda mereka seolah tak terjaga.[7] Hal ini sengaja dilakukan untuk memancing para Muslim datang menjarah, sebelum kemudian disergap.[9] Benar saja, tak lama sekelompok tentara berkuda keluar dari kota untuk menjarah tenda. Namun, pasukan Kristen menyergap terlalu dini, hingga memungkinkan tentara Muslim untuk melarikan diri.[9] Sebagian besar pasukan Muslim berhasil masuk kembali ke dalam kota melalui pintu samping yang kebetulan telah disiapkan untuk dibuka sehari sebelumnya, tetapi masih ada beberapa yang tertinggal.[9] Mereka harus bertahan di kaki dinding, terlindung dengan bidikan panah dari arah kota. Setelah pertempuran mereda barulah mereka masuk kembali ke kota.[9]

Pengepungan ini didominasi oleh baku tembak dengan senjata kepung.[10] Menurut Ibn Al-Qadhi sebanyak 22,000 batu-batu dilemparkan selama pengepungan.[10] Pasukan penyerang memiliki sebelas ketapel tempur dan senjata serupa lainnya.[10] Para Muslim awalnya hanya punya satu, tetapi setelah senjata ini hancur oleh tembakan musuh mereka merakit tiga lagi.[10] Pada akhir Desember, sebagian dari dinding berhasil dirobohkan dan orang-orang Kristen bergegas menyerang, tetapi sepasukan Muslim bertahan di sana dan menghentikan pengepung memasuki kota.[b][11][8]

Gencatan senjata dan penarikan pasukan Kristen

[sunting | sunting sumber]

Pada titik ini harapan akan kemenangan pasukan Kristen semakin memudar. Musim dingin sudah di ambang pintu dan akan menyulitkan pasukan di lapangan.[10] Di saat yang bersamaan pengepungan Algeciras oleh Kastila telah melemah dan memungkinkan Granada untuk memusatkan lebih banyak pasukan ke Aragon.[10] Ditambah lagi, angin bertiup dari arah barat, mencegah pasukan Aragon menerima pasokan yang biasanya datang melalui laut.[8] Akhirnya, di pengujung Desember, dilakukanlah perundingan di kamp Aragon, dan kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata.[10]

Per gencatan senjata ini, Aragon akan menarik diri dari wilayah Granada. Namun karena adanya kesulitan logistik, seperti kurangnya kapal untuk membawa pasukan, evakuasi berlangsung secara bertahap dan mereka yang belum bisa dipulangkan dijaminkan perlindungan orang-orang Islam. Penarikan pasukan baru selesai sepenuhnya pada awal 1310.[12]

Akibat dari kejadian ini

[sunting | sunting sumber]

Mundurnya Aragon dari Almeria, dalam waktu yang hampir bersamaan dengan mundurnya Kastila dari Algeciras, adalah sukses besar bagi Granada. Baik Kastila dan Aragon kemudian berdamai dengan Granada pada awal 1310. Menurut sejarawan L. P. Harvey, kekalahan memalukan ini, dan penarikan mundur pasukan Aragon "telah memberi [orang-orang Aragon] pelajaran" serta menunda kemajuan reconquista selama beberapa dekade.[13]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Menurut Harvey 1992, hlm. 175, serangan dilakukan pada 21 Rabi al-Awwal 709 AH (sekitar 29 August), sementara O'Callaghan 2011, hlm. 132 mengatakan "awal September"
  2. ^ Menurut Harvey 1992, hlm. 176, jebolnya dinding ini terjadi pada 22 Rajab 709 H, sekitar 26 Desember, tetapi O'Callaghan 2011, hlm. 132 mengatakan 5 Januari, yang sebenarnya agak membingungkan, sebab kedua sumber menyatakan bahwa gencatan senjata dilakukan pada akhir Desember.
  1. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 120.
  2. ^ O'Callaghan 2011, hlm. 121.
  3. ^ a b c d e O'Callaghan 2011, hlm. 122.
  4. ^ a b Harvey 1992, hlm. 169.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m O'Callaghan 2011, hlm. 131.
  6. ^ a b c d Harvey 1992, hlm. 174.
  7. ^ a b c d e f g h i j k Harvey 1992, hlm. 175.
  8. ^ a b c d e f g h O'Callaghan 2011, hlm. 132.
  9. ^ a b c d Harvey 1992, hlm. 176.
  10. ^ a b c d e f g Harvey 1992, hlm. 178.
  11. ^ Harvey 1992, hlm. 176–167.
  12. ^ Harvey 1992, hlm. 178–179.
  13. ^ Harvey 1992, hlm. 179.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]